Peta Situs | Komunitas Tzu Chi | Links  
| Tentang Kami | Berita Tzu Chi | Misi & Visi |Cara Berpartisipasi | Jadwal Kegiatan | Inspirasi | Kantor Penghubung |Kata Perenungan |



MERAJUT HIDUP BARU

Naskah: Ivana/Ari/Khoja
Foto: Ari Trismana/Lie Sarpin


“Saya senang, sekarang sudah ada tenda sendiri, pisah dengan tetangga yang lain. Gak perlu cekcok dengan tetangga lagi”


Matahari yang terbit di ufuk timur, tidak selalu menandai datangnya hari yang penuh harapan. Cahaya harapan hanya terbit seiring dengan tumbuhnya semangat dalam diri untuk menyongsong hari yang datang.

Enam bulan bukanlah waktu yang singkat, apalagi jika setiap detiknya harus dilalui dalam kondisi yang sangat tidak nyaman. Ketika tsunami datang dan menghanyutkan rumah masyarakat Aceh beserta seluruh isinya, saat itulah kehidupan masyarakat Aceh di bawah tenda dimulai. Kondisi darurat selalu hanya bisa memenuhi kebutuhan yang paling minimal, jauh dari nyaman apalagi tentram.

Para korban tidak bisa berbuat banyak untuk mengubah hidup mereka sendiri. Suka atau tidak, mereka terpaksa bergantung pada bantuan orang lain. Ketika mendengar tentang program Kampung Tenda Cinta Kasih Tzu Chi dan bisa pindah ke dalamnya, mereka berharap bisa mendapatkan tempat hidup yang lebih baik, meninggalkan tempat pengungsian yang mereka tempati selama ini. Dan harapan pada masa depan mulai berbunga kembali.

Hidup Baru yang Bersahaja di Reusak
Suasana yang penuh kesahajaan memenuhi Kampung Tenda Cinta Kasih Tzu Chi di Reusak yang baru diresmikan 12 Maret 2005 lalu. Untuk tahap pertama, sekitar 80 KK mulai pindah masuk ke tenda-tenda di sana. Pada saat pertama kali para penghuni masuk ke tenda, beberapa fasilitas tenda belum selesai dibangun seperti fasilitas listrik, air, dan toilet. Meski demikian, para pengungsi yang sudah tidak tahan lagi tinggal berlama-lama berdesakan di kamp pengungsi, setengah memaksa untuk segera pindah ke tenda Tzu Chi. Ternyata hal ini justru mengundang kerja sama yang baik. Atas inisiatif mereka sendiri, para pengungsi membantu pekerjaan penyediaan fasilitas seperti menggali lubang sumur dan membuat toilet darurat.

Salah satu penghuni gelombang pertama adalah Rustam (45 tahun). Sore itu ia sedang meracik rokok daun di dalam tendanya yang bersahaja. Istrinya, Mardiyah, sedang bersiap-siap untuk memasak sayur di dapur umum. Suami istri ini telah menata rumah tenda mereka yang baru dengan rapi. Di sisi kanan bagian dalam rumah tenda tergantung sebuah jam dinding, sementara di sisi kiri tersusun barang-barang keperluan dapur yang baru saja selesai dicuci. Di tengah tenda digantung 2 lembar kain untuk membatasi ruang tidur mereka. Pada malam hari, Rustam dan Mardiyah tidur di papan yang menjadi alas tenda, dilapisi selimut yang dibagikan oleh Tzu Chi sebagai pelengkap rumah tenda. Namun Mardiyah yang tengah hamil 7 bulan mengaku badannya sering sakit karena tidur di lantai kayu. “Saya sedang begini (hamil-red), uang tidak ada, dan untuk keperluan bidan pun tidak ada,” ungkapnya. Ada rasa khawatir yang terselip menanti persalinannya. Untunglah, 2 minggu kemudian, CWS (Church World Service) menjalin kerja sama dengan memberikan bantuan kelengkapan tenda, diantaranya kasur busa tipis dan kelambu. Mardiyah pun akhirnya benar-benar dapat tinggal dalam rumah tenda barunya dengan nyaman.
Pengelolaan kampung tenda di Reusak melibatkan warga penghuni sebagai pengurus. Mereka menyusun kepengurusan secara demokratis dan saling berdiskusi untuk membuat sistem ketertiban dan keamanan di kampung tenda. Selain itu juga akan dibentuk kelompok-kelompok kerja untuk menampung warga sesuai dengan keahlian mereka terdahulu.

Menjalin Harapan Baru di Jantho
Anwar Syahadat dulu adalah seorang penarik becak motor. Sudah 4 bulan ia bersama-sama dengan sekitar 4.000 KK tinggal di kamp pengungsi Gue Gajah, komplek TVRI, Banda Aceh. Tanggal 12 April 2005, beserta 98 KK lainnya, ia dan keluarganya akan pindah ke tenda barunya di Jantho. Sambil menunggu keberangkatan, istri dan anak-anak Anwar berpamitan dengan tetangga-tetangganya di tenda yang lama. Tinggal bersama selama sekian bulan, telah menjalinkan hubungan silaturahmi di antara pengungsi. Setelah truk jemputan tiba, para relawan Tzu Chi bahu-membahu dengan para pengungsi, menaikkan barang-barang yang akan dibawa ke dalam truk. Perjalanan menuju hidup baru di bukit Jantho pun dimulai.

Jantho terletak 52 km di sebelah tenggara Banda Aceh. Untuk sampai di sana, perlu sekitar 1 jam perjalanan dari kamp pengungsi yang ditempati Anwar selama ini. Jalan yang harus dilalui berkelak-kelok dan naik-turun, namun Anwar, istrinya, dan 5 orang anaknya melalui semua ini dengan gairah di lubuk hati. Anwar telah mendapatkan nomor rumah tenda miliknya. Tenda nomor E5/02 akan menjadi tempat hidup Anwar dan istri, serta kelima anaknya yang semuanya masih berusia pra sekolah. “Saya senang, sekarang sudah ada tenda sendiri, pisah dengan tetangga yang lain. Sekarang saya gak perlu cekcok dengan tetangga lagi,” ungkap Anwar.

Senada dengan Anwar, Nazaruddin yang juga baru saja pindah dari kamp pengungsi Gue Gajah mengatakan, bahwa ia merasa senang telah memiliki tenda sendiri. Maklumlah, di tempat pengungsian mereka, satu tenda biasanya ditempati oleh beberapa keluarga. Tapi ada hal lain yang mendorong Nazaruddin untuk memilih pindah ke Jantho. “Saya mau pindah ke tenda Tzu Chi karena tempat pengungsian yang lama sifatnya sementara, padahal kalau mau kembali ke kampung juga nggak mungkin,” ujarnya secara terbuka.

Menjemput Kehidupan Baru di Rundeng
Sebuah kehidupan baru hadir di Tenda Tzu Chi, Desa Rundeng, Meulaboh. Ibu Misdar, penghuni tenda Tzu Chi Rundeng, tanggal 14 April 2005 pukul 11.45 WIB, melahirkan anak keempatnya di dalam rumah tenda. Pada saat akan melahirkan, Misdar merasa perutnya mulas. Awalnya tidak seorang pun yang tahu, tapi kemudian jeritannya terdengar oleh tetangga rumah tenda yang lain, termasuk pekerja listrik bernama Irwan, yang saat itu sedang bekerja. Setelah mengetahui keadaan Misdar, Irwan dengan sigap langsung ke Posko Tzu Chi yang berjarak kurang lebih 1 km dari kampung tenda tersebut dengan sepeda motor, untuk memanggil dokter klinik Tzu Chi. Dokter Abdul Khoja langsung datang membawa 2 orang perawatnya dengan mobil ambulans.



Proses kelahiran berjalan lancar. Dengan keahlian dan pengalamannya, Dr. Abdul Khoja berhasil membantu kelahiran bayi perempuan Misdar yang beratnya 3 kg dan memiliki panjang 47 cm ini. Bayi ini kemudian diberi nama Suchi Karmila.

Malang bagi Suchi, sejak lahir ia sudah menjadi yatim. Ayahnya, suami Misdar yang bernama Muhibudin, meninggal akibat tsunami. Selain kehilangan suami Misdar juga kehilangan anaknya yang pertama dan kedua. Sekarang ia tinggal dengan anak ke-3 yaitu Aderi yang baru berusia 5 tahun. Relawan Tzu Chi merasa bersimpati pada Misdar sehingga memberikan bantuan pakaian dan perlengkapan bayi berupa: baju bayi, kain bedong, selimut, bedak, bantal guling, minyak bayi, dan sebagainya. Sekarang ini, untuk mengasuh bayinya, Misdar dibantu oleh Fatimah, ibu kandungnya yang juga tinggal di kampung tenda Tzu Chi Rundeng.

------o------

Pemindahan ratusan KK pengungsi bukanlah perkara yang sederhana. Pembentukan komunitas baru ini perlu didukung dengan program community development (pengembangan masyarakat). Berbagai sektor seperti ekonomi, mental-psikologi, dan sosial masyarakat Aceh perlahan-lahan coba dibangkitkan kembali. Belum lagi antisipasi untuk menghindarkan kecemburuan sosial dari penduduk setempat yang tinggal di dekat lahan pembangunan kampung tenda yang dapat memancing konflik.
Bermacam-macam masalah menanti di hadapan mata. Latar belakang pengungsi yang berbeda, trauma yang tersisa setelah bencana, dan berbagai penyesuaian memerlukan waktu yang panjang. Menghadapi bermacam hambatan seperti itu, apakah kita lantas mundur dan menyerah? Semoga saja tidak. Masih banyak yang perlu dilakukan untuk memberikan hidup baru yang lebih baik pada para pengungsi.

 

Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia
Telp. (021) - 6016332, Fax. (021) - 6016334
Copyright © 2005 TzuChi.or.id